Jogjakarta, 15 Agustus 2045
Oya...anak saya namanya Arjuna Kimoto, semester akhir kuliah di universitas Kyoto dan punya skills musik yang baik untuk alat tiup saxophone, hahaha... bakat menurun seperti bapaknya dulu yang bisa memainkan baritone di marchingband. "Kimo" panggilan sayang kami ini sudah bertahun-tahun belajar di negeri Jepang sejak SMP. Memang sejak mau masuk SMP saya dan istri sepakat untuk menitipkan Kimo ke eyangnya dan menempuh pendidikan sampai kuliah di Jepang, istri juga bolak-balik Indonesia-Jepang, hanya untuk memantau dan menemani sang buah hati. Saya sebenarnya ingin sekalian stay di Jepang namun usaha bisnis saya di Indonesia yang saya bangun masih membutuhkan perhatian intens dari saya pada saat itu. Tidak seperti sekarang saya sudah sebagai pemegang saham terbesar dan memantau dari belakang layar. Saya dan istri sebenarnya juga sudah membeli rumah di kawasan Sapporo untuk hari tua, namun karena Kimo setelah kuliah selesai ini akan menetap dan berkarya di Indonesia membangun negara tercinta ini, tempat dia lahir, ya.... kami tidak memutuskan untuk pindah. Mungkin setahun sekali kami berkunjung ke Jepang untuk berlibur dan menengok sanak saudara selama sebulan atau dua bulan.
"Alhamdullilah landing mulus, ya mi..", kataku kepada istri. Kami baru tiba di bandara International Jogja di kulonprogo, tepatnya di terminal 2 yang dibangun 10 tahun setelah terminal 1 dibuka, terminal ini khusus untuk penerbangan international. Ya, sejak dibuka akhir 2018, 27 tahun lalu penerbangan dari dan ke Jogja semakin pesat terutama penambahan rute luar negeri langsung sangat banyak mulai dari Singapore, Malaysia, India, Myanmar, Thailand, Australia, China, Jepang, dan kawasan Timur Tengah. Kebetulan istri saya orang Jepang, saya baru saja pulang dari rumah orang tua istri di Kyoto, flight langsung dari Osaka memakai maskapai kebanggan kita, Garuda Indonesia :) .
Jam menunjukkan sudah sore sekitar pukul 16.00 saat saya dan istri keluar gate imigrasi yang canggih dan otomatis. Kami berjalan menuju stasiun Railink yang berada masih dalam kompleks terminal 2, untuk menuju ke arah pusat kota Jogja. Kami hanya menunggu 1 menit lalu kereta datang, kereta buatan INKA ini sangat bagus, bersih, nyaman, dan humanis. Perjalanan menuju Tugu Central Station hanya menempuh 30 menit saja. Sampai di Tugu, putera semata wayang kami sebenarnya akan menjemput namun karena kesibukan persiapan konser akbar 100 tahun kemerdekaan pada tanggal 17 malam besok, maka kami mengalah untuk bertemu saja di tempat latihan yaitu di gedung opera yang bersebelahan dengan hotel Ambarukmo. Kebetulan dia ikut serta dalam orkestra gabungan mahasiswa dan anak sekolah.
Oya...anak saya namanya Arjuna Kimoto, semester akhir kuliah di universitas Kyoto dan punya skills musik yang baik untuk alat tiup saxophone, hahaha... bakat menurun seperti bapaknya dulu yang bisa memainkan baritone di marchingband. "Kimo" panggilan sayang kami ini sudah bertahun-tahun belajar di negeri Jepang sejak SMP. Memang sejak mau masuk SMP saya dan istri sepakat untuk menitipkan Kimo ke eyangnya dan menempuh pendidikan sampai kuliah di Jepang, istri juga bolak-balik Indonesia-Jepang, hanya untuk memantau dan menemani sang buah hati. Saya sebenarnya ingin sekalian stay di Jepang namun usaha bisnis saya di Indonesia yang saya bangun masih membutuhkan perhatian intens dari saya pada saat itu. Tidak seperti sekarang saya sudah sebagai pemegang saham terbesar dan memantau dari belakang layar. Saya dan istri sebenarnya juga sudah membeli rumah di kawasan Sapporo untuk hari tua, namun karena Kimo setelah kuliah selesai ini akan menetap dan berkarya di Indonesia membangun negara tercinta ini, tempat dia lahir, ya.... kami tidak memutuskan untuk pindah. Mungkin setahun sekali kami berkunjung ke Jepang untuk berlibur dan menengok sanak saudara selama sebulan atau dua bulan.
.........Kami menggeret koper dan menuju stasiun LRT line east-west (elevated) yang masih berada di kompleks superblok Tugu. Tugu saat ini beda dengan yang dulu, sudah menjadi superblok, tidak hanya stasiun kereta saja namun pusat perbelanjaan, hotel, convention hall, dan pusat perkantoran menjadi satu mix used concept yang modern di pusat kota. Bangunan stasiun Tugu tetap dibiarkan menjadi warisan heritage namun untuk bangunan baru dibuat sangat modern dan seakan ada "tabrakan" desain fasadenya....sangat cantik dan brilian. Tugu menjadi central point untuk transportasi massal kota yang sangat digarap maksimal oleh pemerintah daerah saat ini, yaitu BRT Trans Jogja, LRT, dan Aerobus Rail.
Sekitar 20 tahun lalu, dibuka jalur kereta LRT yaitu rute north-south menghubungkan kawasan satelit selatan kota Jogja sampai Candi Borobudur. Lalu LRT east-west dibuka baru saja 10 tahun yang lalu menghubungkan barat dan Timur dari Jalan Godean sampai Candi Prambanan. Dan baru saja dibuka jalur circle line dalam kota dalam bentuk Aerobus. Aerobus rail ini bentuknya mirip kereta gantung, namun dengan gerbong yang lebih panjang dan besar. LRT dan Aerobus sangat membantu pergerakan warga di kota Jogja terutama orang kantoran dan mahasiswa serta para turis yang akan menjangkau kedua situs budaya tersebut dengan sangat mudah.
Sekitar 20 tahun lalu, dibuka jalur kereta LRT yaitu rute north-south menghubungkan kawasan satelit selatan kota Jogja sampai Candi Borobudur. Lalu LRT east-west dibuka baru saja 10 tahun yang lalu menghubungkan barat dan Timur dari Jalan Godean sampai Candi Prambanan. Dan baru saja dibuka jalur circle line dalam kota dalam bentuk Aerobus. Aerobus rail ini bentuknya mirip kereta gantung, namun dengan gerbong yang lebih panjang dan besar. LRT dan Aerobus sangat membantu pergerakan warga di kota Jogja terutama orang kantoran dan mahasiswa serta para turis yang akan menjangkau kedua situs budaya tersebut dengan sangat mudah.
Kota kami juga dilewati jalur kereta super cepat menghubungkan ke arah Surabaya dan Jakarta namun stasiun-nya berdiri sendiri di dekat bandara lama Adisucipto. Dengan 25 juta lebih pengunjung wisatawan asing dan domestik setiap tahun, pengelolaan
mass transport yang baik sangat dibutuhkan. Beberapa jalur kereta Tram listrik (LRT) dibangun untuk area-area khusus seperti di kawasan kampus UGM-UNY, kawasan seturan, malioboro, kraton, dan sekitarnya. Begitu juga pengelolaan kantong-kantong parkir tersebar merata di beberapa sudut kota Jogja, dan tidak banyak lagi yang menggunakan bahu jalan namun memakai bangunan parkir bertingkat automated terkomputerisasi. Malioboro sekarang juga berbeda seperti 30 tahun lalu, sudah menjadi seperti sebuah plaza outdoor yang besar sangat cantik, bersih, nyaman dan teratur...apalagi sudah menjadi kawasan pedestrian dan revitalisasi kawasan malioboro yang dimulai 30 tahun lalu itu berhasil dan membuat Malioboro dan sekitarnya semakin iconic dan tertata rapi.
.........Selama perjalanan saya merenung betapa kemajuan kota ini sangat pesat sekali, dimulai dari banyaknya hotel dan pusat belanja yang dibangun di awal-awal tahun 2010. Walaupun dulu sempat banyak pro dan kontra, tapi itu konsekuensi dari kemajuan ekonomi. Lalu sekarang pemerintah daerah lebih concern membangun fasilitas dan rekreasi umum seperti gedung opera megah, museum-museum, taman kota besar bernama "Hadiningrat Royal Park" di bekas stadion kridosono dan banyak taman cantik lainnya, pedestrian lebar dan jalur sepeda hampir di setiap ruas jalan. Ya, Jogja memang tidak bisa banyak membuat banyak jalan layang tetapi solusi dilakukan dengan rekayasa lalu lintas dan membuat akses jalan langsung lewat terowongan bawah tanah di beberapa titik padat perempatan. Namun saat ini juga perkembangan kepadatan lalu lintas tidak sepadat dulu jaman saya masih umur 30 an, karena warganya sudah sadar menggunakan mass transport dan kembali ke selera asal yaitu "nggowes" sepeda, hehe. Begitupula polusi sudah sangat minim karena kendaraan mobil dan motor yang lalu lalang termasuk BRT Trans Jogja sudah bertenaga listrik sebagai pengganti bahan bakar minyak.
Gedung-gedung skyscrapper tinggi terlihat di jalan-jalan protokol terutama di kawasan jalan sudirman, jalan solo, jalan monjali, jalan kaliurang, dan kawasan depok. Satu yang menarik adalah Jogja Iconic Tower di kawasan Royal Park, dirancang sangat menarik dan epic dengan tinggi yang menjulang sebagai landmark kota yang modern menemani Tugu yang "old heritage" dan sudah berdiri berabad-abad lamanya. Tower ini berfungsi tidak hanya sebagai pemancar frekuensi dan kumandang azan. Terdapat museum juga yang berisi tentang sejarah kota dan rancangan blueprint masa depan kota ini, restoran, dan area observation deck yang bisa melihat 360 derajat kota ini. Perlu diketahui tower ini sebagai patokan maksimal tinggi bangunan yang ada di kota Jogja.
Jogja dari dulu memang "ngangeni", setiap sudut itu romantis, dulu dan sekarang sampai akhir jaman. Walaupun kemajuan jaman serta banyak artefak fisik berlomba-lomba berdiri namun wisdom lokal masih tidak bisa hilang begitu saja. Bangunan cagar budaya dan heritage tetap dipertahankan bahkan diberi tempat perhatian khusus. Kalaupun ada di suatu jalan gedung-gedung skyscrapper dengan trotoar lebar dan
pohonan rimbun itu menjadi sisi "romantis" lain dari kota Jogja.
Tak terkecuali kampung-kampung wisata yang sudah ada sejak 30 tahunan lalu tetap dilestarikan bahkan semakin menjadi daya tarik tersendiri. Pertunjukan seni budaya dan upaya pelestarian budaya masih rutin dilakukan apalagi dengan adanya dana istimewa dari pusat rutin tiap tahun digulir sangat membantu sekali agar kebudayaan Jogja lebih berkembang dan mencapai manfaatnya secara sosial dan ekonomi ke masyarakat Jogja.
Kekawatiran akan tergerusnya budaya lokal adiluhung yang terjadi mulai pada masa "bubble" artefak fisik modern sekitar 30-an tahun lalu sama sekali tidak terbukti. Seakan kemajuan jaman itu memperindah dan memperkuat khasanah lokal yang sudah berabad-abad dijaga dan dilestarikan. Yang sederhana saja seperti becak dan andong masih saja mewarnai wajah kota yang syahdu ini. Bedanya hanya di desain yang semakin atraktif, apalagi untuk andong, sekarang sudah ada metode agar "pup dan pipis"-nya si kuda langsung ditampung di sebuah alat yang menempel di kuda dan andongnya, jadi tidak mengotori jalan. Becakpun sudah mengalami modifikasi dengan tenaga semi listrik, jadi "genjotan" si abang becak tidak terlalu "ngoyo", kereeen lah inovasi anak negeri. PKL Angkringan atau warung tenda masih banyak berdiri di beberapa sudut namun kondisinya lebih bersih, modern, dan tertata rapi. Oya, usaha rumah makan di Jogja apapun bentuknya dari restoran sampai kakilima dilakukan inspeksi rutin dari dinas terkait tentang standar SOP baik pelayanan dan kualitas penyajian makanan. Jadi tiap usaha kuliner sekarang ada akreditasinya, ini komitmen pemda agar tetap menjamin konsumen dari segi kesehatan dan kenyamanan serta tetap mengukuhkan kalau Jogja itu tetap surganya kuliner.
..........Kami tiba di stasiun Ambarukmo Plaza dan bergegas jalan melalui skywalk menuju "Jogja Royal Opera House" yang tak jauh dari stasiun. Kebetulan kendaraan mobil listrik dibawa oleh Kimo dan selesai latihan ini kami akan makan malam bersama di Jogja Iconic Tower sebelum pulang ke rumah.
Aku bangga dengan kota-ku yang humanis dan modern namun masih menjaga khasanah wisdom budaya lokal. Jogja tetap istimewa dan berhati nyaman. 100 tahun kemerdekaan Indonesia dan kami sudah benar-benar merasakan tinggal di negara yang makmur dan sejahtera. Negara ini berhasil melewati banyak rintangan dan perjuangan berat sampai akhirnya mencapai 1 abad kemerdekaan hakiki Indonesia. Selamat ulang tahun bangsaku.... ^_^
author : @dhikawama
sumber gambar : internet
note : jika ingin menyadur sebagian atau secara keseluruhan bagian artikel ini dipersilahkan namun harap mencantumkan nama saya (@dhikawama) dan link blog saya. Terimakasih
note : jika ingin menyadur sebagian atau secara keseluruhan bagian artikel ini dipersilahkan namun harap mencantumkan nama saya (@dhikawama) dan link blog saya. Terimakasih