Wednesday, October 8, 2008

Resesi ekonomi fase baru mirip tahun 1930 an...ih ngeri...!!

Sedikit berat yuk mikirnya..heheh gw cuman sedikit khawatir aj dengan kondisi dunia yang mulai resesi ekonomi, berawal dari bangkrutnya Lehman brother's dan hancurnya pasar modal amerika, berimbas pada keadaan ekonomi secara global...coba deh kita tengok psting berita dari jawapos online ini.

Pada awal April ini, otoritas Amerika Serikat (AS), baik Federal Reserve(the Fed) dan Menteri Keuangan AS, mengakui bahwa AS dapat terperosok ke dalam resesi akibat krisis di sektor perumahan, kredit, dan keuangan. Tak pelak, akibat pengakuan tersebut, hampir seluruh pasar keuangan global mengalami kejatuhan. Kurs Euro kini setara dengan USD 1,5604 di pasar London.

Di Indonesia sendiri, pada pekan pertama April, IHSG mengalami penurunan indeks terbesar sejak awal 2008. IHSG turun 9,67% atau 239,61 poin dari level penutupan akhir Maret lalu sebesar 2.477,59.

Pertanyaannya, apakah AS sudah mengalami resesi? Apakah dunia juga terseret akibat krisis di AS? Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri?

Amerika Resesi?
"Resesi" merupakan istilah teknis yang digunakan untuk menjelaskan situasi ekonomi suatu negara yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. IMF menggunakan patokan pertumbuhan ekonomi di bawah 3% sebagai tanda resesi. Padahal, berdasarkan proyeksi, AS diperkirakan hanya tumbuh 1,5% pada 2008. Proyeksi inilah yang dipersepsikan AS akan mengalami resesi.

AS telah mengalami enam kali resesi dan dua kali midcycle slowdown. Periode resesi terjadi pada 1930-an, 1974-1975, 1980, 1981-82, dan 2001. Sementara midcycle slowdown, terjadi pada 1986 dan 1995. Penyebab terjadinya resesi umumnya relatif sama, yaitu akibat harga minyak, persoalan kredit macet, dan deflasi aset properti.

Dibanding resesi lain, periode resesi era 1930-an merupakan yang paling dahsyat yang diawali dengan rontoknya pasar modal AS pada 29 Oktober 1929 yang dikenal dengan Black Tuesday.

Penyebab resesi ekonomi 1930-an mirip dengan saat ini, yakni krisis di sektor kredit properti akibat kredit macet yang berimbas ke sektor lain. Mungkin karena kesamaan penyebabnya inilah, George Soros mengatakan, krisis AS saat ini memiliki kemiripan dengan depresi besar 1929. Meski pernyataan Soros agak berlebihan, krisis keuangan di AS saat ini adalah persoalan serius dan harus segera diantisipasi.

Saya berpendapat resesi ekonomi yang terjadi saat ini lebih memiliki kemiripan dengan resesi ekonomi di era 1970-an. Mengapa? Pertama, saat itu harga minyak tidak dapat dipastikan kapan naik atau turun. Kondisi ini sama dengan saat ini, yang harga minyak terus berfluktuasi dan tidak dapat diprediksi kapan situasi ini berakhir.

Kedua, adanya tekanan inflasi dari sisi supply side sehingga mendorong kenaikan pada pos belanja pemerintah. Ketiga, terjadi penurunan secara drastis pada nilai aset properti dan ekuitas.

Berikutnya, keempat, dolar AS mengalami depresiasi terhadap mata uang lain. Pada periode 1970-an, kurs dolar mengalami depresiasi 9%, sedangkan saat ini USD melemah terhadap Euro.

Ketika krisis terjadi di AS akibat kredit macet di sektor perumahan (subprime mortgage) pada pertengahan 2007, sejumlah ekonom menyebut bahwa krisis tersebut hanya terbatas pada sektor keuangan. Kini, krisis di AS telah terasa di sektor riil, berupa terganggunya kegiatan ekonomi riil. Konsumen juga sudah mengurangi belanja. Pengurangan ini sudah terasa berupa peningkatan pengangguran. Tingkat pengangguran AS saat ini mencapai 4,8% dan masih berpotensi meningkat. Kelesuan ekonomi AS telah menurunkan konsumsi barang-barang elektronik, mesin-mesin untuk produksi.

Untuk menggambarkan krisis di AS saat ini sudah masuk ke dalam resesi atau belum, biasanya digunakan indikator industrial production, employment, real income, dan wholesale retail trade. Berdasarkan hal-hal yang terjadi di AS di atas, dapat disimpulkan bahwa meski tidak separah pada era 1930-an, AS saat ini memang sedang mengarah ke resesi, yang lebih buruk dibandingkan pada era 1980-an dan 1990-an.

Bersiaplah

Selama ini resesi yang terjadi di AS ikut menyeret negara lain, baik dari kelompok negara maju maupun lainnya. Berdasarkan perhitungan staf IMF, kelompok negara maju mengalami koreksi perlambatan 2% dan Amerika Latin turun 1,7% selama lima kali resesi yang terjadi di AS sejak 1970.

Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, apa pun aktivitas ekonomi di AS dapat memengaruhi ekonomi negara-negara lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu, isu mengenai kemungkinan resesi AS harus menjadi sorotan global.

Saat ini pun krisis di AS telah terbukti ikut menyeret negara lain. Krisis di AS telah menurunkan aktivitas bisnis di Jepang, Eropa, dan juga seluruh dunia. Hal ini antara lain tecermin dari berbagai proyeksi ekonomi dunia yang terus menurun. Kecuali China dan India yang diproyeksikan akan tumbuh di atas 8%, IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi dunia hanya tumbuh 3,7%. Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan Indonesia hanya mampu tumbuh 6%, lebih rendah dibandingkan target yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,4%.

Di negara berkembang, dampak krisis sudah terasa dalam bentuk melemahnya ekspor ke negara maju, termasuk ke AS. Ekspor Jepang ke AS juga mulai lesu. Kelesuan ekonomi global juga memukul dunia, termasuk negara berkembang dari sisi lain.

Kelesuan itu tidak saja menekan ekspor, tetapi juga munculnya kenaikan harga-harga pangan. Kenaikan harga-harga pangan terjadi karena investor dunia, yang biasa aktif di pasar keuangan, kini memasuki bursa komoditas, yang dianggap sebagai lahan baru investasi. Akibatnya, peningkatan harga-harga pangan kini mendera semua negara di dunia.

Pertanyaannya, persiapan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah agar resesi ekonomi di AS tidak berimbas secara besar bagi perekonomian dunia, dan khususnya bagi Indonesia.

Perlu diketahui, krisis ini tidak bisa ditangani secara parsial oleh negara yang terkena imbas dari krisis di AS. Semua negara harus terlibat dalam upaya meredam gejolak krisis ini. Karena itu, adalah tepat permintaan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick agar negara maju bahu-membahu mengatasi kesulitan negara berkembang, khususnya bantuan pangan untuk negara yang terancam malnutrisi.

AS juga harus sadar bahwa krisis keuangan yang mengarah pada resesi ekonomi adalah buah kebijakan sektor keuangannya yang tidak prudent dan terlalu bebas. Gejolak pasar keuangan global tidak akan bisa diatasi hanya dengan menurunkan suku bunga atau menyuntikkan dana-dana ke sistem perbankan global. Ini mengingat, gejolak keuangan global terjadi karena aktivitas sektor keuangan yang liar dan beroperasi di luar kendali.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia relatif sedikit terpengaruh dari imbas krisis di AS tersbeut. Terbukti, proyeksi ekonomi Indonesia masih di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, bila krisis keuangan ini tidak diatasi dengan baik, dampaknya pun bisa berimbas ke sektor riil.

Faktanya, akibat lesunya kondisi pasar keuangan kita, sejumlah perusahaan (swasta dan BUMN) telah menyatakan menunda untuk raising fund dari pasar modal, baik melalui IPO maupun penerbitan obligasi.

Untuk mencegah kelesuan di sektor keuangan agar tidak berimbas ke sektor riil, pihak otoritas perlu memperkuat regulasi di sektor riil untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi serta memperketat aktivitas investasi di pasar uang yang berbau spekulatif.

Sunarsip, ekonom, kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI) dan dosen di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Departemen Keuangan RI. (Jawa Pos Online)

0 comments:

Post a Comment

Hai teman, gunakan nama dan URL kamu sehingga bisa saya link back lagi nanti, terimakasih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

List rekomendasi